icon
article-hero

Cerita Mualaf Asal Jepang Saat Menjalani Ramadan di Singapura

avatar-name

Tiara •  May 11, 2020

[Artikel ini aslinya ditulis oleh Faruq Senin. Kamu bisa membaca versi berbahasa Inggris yang ditulisnya di halaman ini.]

Diperbarui 30 Apr 2020: Kami kembali mengobrol dengan 2 mualaf asal Jepang ini untuk mengetahui bagaimana mereka menjalani Ramadan di rumah. Informasi yang tertera di bawah ini akurat dan sesuai dengan kondisi saat artikel dipublikasikan.

Tidak sulit untuk menemukan orang dari berbagai suku, agama, dan kebangsaan di Singapura. Lebih baik lagi, kita pun bisa belajar dan mengenal lebih jauh mengenai perjalanan hidup seseorang serta mempelajari latar belakang mereka. ☺️

Kredit: Giphy

Dalam semangat Ramadan dan untuk merayakan semangat keberagaman umat Muslim, kami pun berkesempatan untuk berbincang dengan beberapa anggota komunitas Muslim di Singapura. Beberapa di antaranya adalah pasangan dari umat Muslim asal India dan Singapura, sementara yang lainnya menikah dengan Muslim dari negara lain namun tinggal di Singapura.

Kami berbincang dengan 3 narasumber untuk mengetahui bagaimana mereka menjalankan puasa Ramadan di Singapura tahun ini, terlebih dengan adanya pandemi Covid-19. Kamu juga bicara tentang keluarga, perjalanan menjadi mualaf, dan tantangan yang mereka hadapi. ?

Nur Azlina (Sugaya Yasuko)

1. Sudah berapa lama Anda tinggal di Singapura?

Sudah 12 tahun, Alhamdulillah.

2. Boleh ceritakan bagaimana perjalanan Anda untuk menjadi mualaf?

Saya besar di keluarga beragama Buddha, kakek dari sisi ibu saya adalah pendeta dan nenek dari sisi ayah saya juga menganut agama Buddha, jadi saya besar dengan ajaran tentang ketuhanan dan Buddha. Beranjak dewasa, saya mulai mempertanyakan ajaran agama Buddha dan kuliah mengambil jurusan tersebut.

Titik baliknya terjadi saat saya berusia 27 tahun. Saya berhenti bekerja dan memutuskan untuk sekolah dan tinggal di Hobart, Tasmania. Saya seharusnya menikah, namun rencana tersebut tidak berjalan dengan baik. Akhirnya saya memutuskan untuk mengejar mimpi tinggal di luar negeri dan mengenali diri saya lebih baik lagi. Saat pertama kali tiba, saya sangat kesepian dan hampir menyesali keputusan tersebut. Namun, saya diselamatkan oleh seorang pria ramah asal Singapura yang menjadi teman baik saya dalam menjalani kehidupan yang baru itu.

Suatu hari, saya khawatir karena teman saya ini tidak makan sama sekali. Ternyata ia sedang berpuasa. Itulah kali pertama saya mendengar kata 'puasa', jadi saya mencarinya dan menyadari bahwa ia adalah seorang Muslim yang percaya kepada satu Tuhan dan berpuasa di bulan Ramadan. Saya pikir kalau ia Muslim, maka ia akan agresif, tidak ramah, dan suka berperang di tanah Arab nun jauh di sana. Selain itu, wanita pun konon diperlakukan tidak adil. Saya pun bertanya-tanya, "Mengapa teman saya tidak seperti itu? Apakah ia Muslim sungguhan? Ataukah selama ini persepsi saya yang salah?"

Ia sangat tenang, baik hari, lucu, dan pemikirannya pun modern. Saya tidak pernah melihatnya berselisih dengan orang lain dan selalu menjaga keharmonisan. Dia juga tidak minum bir atau anggur. Saya menghabiskan 2 tahun berteman dengannya selama sekolah dan semakin tertarik dengan latar belakang serta perjalanan keyakinannya.

Saya kembali ke Jepang setelah lulus sekolah dan mulai bekerja untuk menabung agar saya bisa belajar tentang Islam di Singapura. Saya pun bicara dengan kedua orang tua saya soal keinginan tersebut. Saya mulai membaca buku-buku islami dan pergi ke masjid untuk merasakan suasana Islam di negara saya. Bagaimanapun, saya tetap kurang mengerti dan bertanya kepada teman saya apakah saya bisa tinggal dengan keluarganya di Singapura sambil belajar tentang Islam.

Awalnya, saya takut akan mengecewakan orang tua saya karena tertarik dengan agama lain. Ayah saya bahkan tidak yakin saya akan bertahan di lingkungan islami karena Islam adalah jalan hidup, sementara saya baru mengenalnya. Meskipun demikian, beliau menyuruh saya untk melihat Islam lebih dekat. Saya sangat beruntung memiliki orang tua yang suportif, tapi di sisi lain ada sedikit rasa bersalah karena meninggalkan agama yang dianut oleh keluarga saya.

Perjalanan saya di Singapura dimulai di usia 30 tahun. Saya tinggal bersama keluarga teman saya selama 3 bulan. Mereka memperlakukan saya dengan sangat baik dan mengajarkan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya. Ketika masa tinggal saya berakhir, saya kembali ke Jepang dengan keteguhan hati dan bilang kepada orang tua bahwa saya sanggup hidup sebagai seorang Muslim. Satu hal yang terpenting, saya akan tetap menghormati dan menyayangi mereka walaupun keyakinan kami berbeda, sesuai dengan ajaran Islam.

Itulah awalnya saya memeluk agama Islam dan memulai hidup baru dengan suami saya, sang teman yang saya temui zaman sekolah dulu di Tasmania. Saya tidak pernah membayangkan hidup saya seperti saat ini, tinggal di Singapura dengan suami dan 3 anak yang saya sayangi. ?

3. Apa tantangan yang Anda hadapi saat pada awal menjadi mualaf dan bagaimana mengatasinya?

Bagi saya, tantangan terbesar adalah makanan, khususnya makanan buatan ibu saya. Saya merasa tidak enak kepada ibu saya karena beliau harus menyesuaikan cara memasaknya demi saya. Tidak mudah pula untuk memesan daging halal di desa saya, tapi saya berusaha untuk memesan daging halal beku. Ibu saya tidak terbiasa masak menggunakan ayam utuh atau daging beku, jadi saya berusaha untuk selalu membantunya saat memasak.

Ibu saya juga tidak tahu bahwa ham yang ada di supermartket terbuat dari daging babi, jadi beliau membuatkan salad kentang dengan ham favorit saya. Tapi saya tidak mau terus menerus merepotkan, jadi saya memasak sendiri atau hanya makan seafood. Kadang saya pun terpaksa makan masakan daging non-halal (kecuali daging babi) yang sudah disiapkan oleh ibu saya. Saya merasa bersalah, tapi itulah satu-satu jalan untuk menjaga hubungan baik dengannya. Saya membaca Bismillah sebelum makan dan shalat supaya perasaan saya lebih baik.

Saat saya pertama kali memakai jilbab di Jepang pun menjadi tantangan tersendiri. Ibu dan kakak saya meminta saya melepasnya karena katanya saya tidak terlihat seperti orang Jepang. Saat itu persepsi Islam di Jepang tidak terlalu baik, jadi kakak saya takut terjadi sesuatu kepada saya seperti diskriminasi oleh orang yang tidak mengerti Islam.

Teman-teman saya pun meminta hal yang sama karena mereka merasa saya bukanlah Yasuko yang mereka kenal. Sebagai sesama orang Jepang, saya mengerti maksud mereka. Namun saya ingin mereka mengerti bahwa inilah keputusan saya. Saya tetaplah Yasuko yang mereka kenal, hanya saja berbeda penampilan.

Saya juga mengunjungi Sekolah Vokasi Buddha untuk berbagi tentang Islam dengan para pelajar disana. Saya bahkan menunjukkan kepada mereka bagaimana cara memakai jilbab. Saya ingin mereka paham bahwa saya hanyalah orang Jepang Muslim. Saya tidak berbeda dengan mereka, hanya saja jalan hidup saya berbeda sekarang. Saya juga lebih aktif di komunitas dan berharap Allah mengizinkan orang lain belajar tentang Islam melalui saya. Amin.

P.S. Tidak mudah menjadi mualaf! Lihat juga pengalaman mualaf China ini saat ia pertama kali memeluk agama Islam!]

4. Bagaimana cara Anda dan keluarga menghadap kondisi Covid-19?

Proyek karya putri Yasuko

Situasi ini jelas telah membuatkan harus berkumpul di rumah. Pagi hari, ketiga anak kami akan berada di depan laptop untuk sekolah jarak jauh. Saya bisa bertemu guru dan teman sekolahnya serta melihat sendiri bagaimana mereka belajar.

Saya juga jadi bisa membantu mereka mengerjakan tugas matematika. Tugasnya cukup sulit, jadi biasanya suami saya mengajarkan saya dulu. Tapi akhirnya malah anak-anak yang mengajari saya ? Belajar dari rumah seperti ini membuat saya sadar anak-anak saya pintar dan rajin belajar di sekolah. Alhamdulillah.

Saya juga tidak perlu antar jemput dan menyiapkan bekal untuk anak sekolah, jadi tidak perlu buru-buru belanja. Saya punya lebih banyak waktu untuk istirahat di rumah. Alhamdulillah.

Keluarga kami juga hidup lebih sederhana. Kamu belum keluar rumah sejak sekolah ditutup akhir April lalu, hanya suami saya yang keluar untuk belanja 2 kali seminggu. Kami belanja dan memasak secukupnya. Saya juga harus lebih kreatif memasak dengan bahan seadanya. Situasi ini membuat kami hemat air, energi, dan uang. Kami juga lebih banyak ide dan banyak waktu untuk diam di rumah bersama keluarga.

5. Bagaimana pengeluaran keluarga selama Ramadan tahun ini?

Bagian terbaiknya adalah kami bisa beribadah bersama di rumah. Suami saya jadi imam, anak laki-laki saya jadi bilal, sementara saya dan putri saya jadi makmum. Masya Allah, mimpi saya jadi kenyaraan.

Ini adalah kesempatan terbaik bagi saya untuk mengajarkan agama Islam kepada anak-anak seperti makna hidup, apa yang paling penting dalam hidup ini, dari mana kita berasal, dan kemana kita pergi, apa yang terjadi setelah kita mati, dan apa yang kita bisa lakukan untuk mempersiapkannya. Selain itu juga tentang arti ayat yang kita baca, arti doa, alasan kita shalat dan puasa, serta perasaan saat berpuasa.

Biasanya anak-anak ikut kelas madrasah di akhir pekan. Saya pun memutuskan untuk belajar lebih banyak tentang Islam untuk diri sendiri dan untuk keluarga. Apapun yang saya lakukan harus sejalan dengan Islam, saya berzikir, shalat, dan mengenalkan anak-anak kepada Islam. Saya yakin mereka bisa menjadi Muslim yang baik.

Allah Maha Besar. Tanpa diajari pun mereka bisa merasakan kehadiran Allah, jadi mereka sadar akan apa yang mereka kenakan, makan, dan lakukan meskipun tidak ada yang melihat.

Ramadan ini, rasanya kami semakin dekat. Pada awal Ramadan, anak saya bilang "Saya lapar, saya tidak suka Ramadan," dan saya bilang "Memang begitu, itulah perasaan orang-orang yang tidak bisa makan dan minum,". Beberapa hari kemudian anak saya berkata bahwa ia tidak akan bilang lapar lagi. Hari ini, si kecil (usianya baru 5 tahun) bilang "Saya suka Ramadan,". Saya tanya alasannya dan ia bilang "Saya bisa puasa seharian, saya puasa untuk Allah,". Begitulah, rumah kami jadi semakin nyaman selama Ramadan. ❤️

6. Seperti apa bulan Ramadan pada tahun-tehun sebelumnya?

Biasanya bulan Ramadan saya tidak terlalu sibuk dengan urusan rumah tangga dan punya lebih banyak waktu untuk diri sendiri.

Islam telah mengajarkan saya bahwa keluarga adalah anugerah dari Allah. Karenanya, saya dan suami berusaha untuk merawat dan bertanggung jawab atas anak-anak kami dengan berkah dari Allah. Saya pun berusaha menjadi contoh Muslim yang baik untuk mereka. Biasanya saya saya tidak terlalu sibuk di bulan Ramadan, lebih jarang memasak, dan punya banyak waktu untuk shaat, membaca Iqra, dan terjemahan Al Quran.

Saya punya lebih banyak waktu bersama anak-anak. Saya pun belajar dari mereka yang berpuasa karena Allah dan mengajarkan mereka untuk bersyukur akan apa yang kami miliki. Dengan berpuasa, kami belajar untuk berempati dengan orang-orang yang kurang beruntung.

7. Bagaimana Anda menjaga keseimbangan menjadi seorang Muslim di Singapura dengan mempertahankan budaya Jepang? Apa anak-anak Anda bangga menjadi orang Jepang Muslim?

Memasak

Selain masakan Jepang, saya juga belajar masak makanan Melayu. Saya suka memadukan keduanya  dan menggunakan bahan-bahan segar yang sehat sesuai dengan kebiasaan orang Jepang ketika memasak.

Gaya hidup

Tidak banyak yang berubah karena nilai-nilai Islam tidak jauh berbeda dengan budaya Jepang, seperti sopan santun, menghormati orang tua, merawat yang lebih muda, menjaga kebersihan, bertanggung jawab, berbaik hati, lemah lembut, jujur, dan bekerja keras.

Saya memakai yukata dengan jilbab dan bicara dengan bahasa Jepang dengan anak-anak saya untuk meneruskan tradisi. Bukan hanya bahasa, tapi juga sopan santun. Saya mengucapkan salam ketika membungkuk ?

Misalnya saja, saya tidak suka melihat sepatu yang berantakan di depan rumah atau masjid. Kadang saya berinisiatif untuk merapikannya. Ada sedikit rasa malu, tapi saya ingat bahwa Islam mengajarkan kita untuk berbuat baik karena Allah dan itu cukup membuat saya lega. Ada pula yang mengingatkan saya kalau sepatu itu kotor, tapi saya tidak keberatan.

8. Dari mana asal Anda dan adakah tips bagi traveler yang akan mengunjungi kampung halaman Anda?

Saya berasal dari Chiba di dekat Bandara Narita. Disneyland juga berada di Chiba! Saya sering pergi ke sana dengan keluarga. Saya suka Chiba karena masyarakatnya menarik dan mencerminkan kehidupan orang Jepang.

9. Persepsi atau pertanyaan seperti apa yang dimiliki orang Jepang terhadap umat Muslim/Islam?

Persepsi

Banyak yang tidak tahu bahwa Islam sangat fleksibel dan cukup terkejut melihat saya berbahagia hidup sebagai Muslim. Mereka sering bertanya alasan saya menjadi mualaf, bagaimana cara saya bertahan, dan kasihan karena saya harus berpuasa di bulan Ramadan.

Turis jepang pun takut untuk mengunjungi masjid di Singapura karena tidak yakin dan kerap terbayang citra Islam yang tidak ramah. Karenanya, saya ingin aktif di komunitas lewat ketiga anak saya dan bertemu dengan lebih banyak orang Jepang Muslim di Singapura melalui berbagai cara.

Ramadan

Banyak pula orang yang salah paham dengan Ramadan. Mereka pikir Ramadan adalah pesta makanan karena identik dengan bazar Ramadan serta banyaknya penawaran khusus dari restoran untuk berbuka dan sahur. Seolah-olah ini adalah festival dan perayaan setelah seharian berpuasa. Begitu pula dengan hari raya yang diidentikkan dengan baju baru dan barang-barang baru.

Namun, saya mencoba untuk menjelaskan esensi Ramadan lewat Facebook saya. Tentang bagaimana kami berpuasa dan apa yang kami rasakan karena tidak semua orang paham bahwa budaya Islam Melayu dan Singapura tidak serta merta identik dengan ajaran Islam itu sendiri.

Saya beruntung bisa menjawab sendiri segala pertanyaan saya tentang Islam dengan menjadi seorang Muslim. Budaya hidup di Singapura yang lebih terbuka pun membuat saya lebih rileks dan bebas menjadi diri saya sendiri.

10. Bagaimana suasana Idul Fitri di Singapura?

Orang tua saya datang pada hari raya beberapa tahun lalu dan pergi berkunjung ke rumah beberapa saudara. Mereka terkesan dengan banyaknya makanan dan saudara yang kami miliki di sini.

Selama hari raya, saudara perempuan kamu berkumpul dan masing-masing membawa makanan. Momen itulah yang paling kami tunggu!

11. Apa Anda sering pulang ke Jepang? Apa yang paling Anda rindukan dari Jepang?

Saya rindu alamnya, acara budaya, 4 musimnnya, dan onsen di sana. Saya terbiasa melihat daun berubah warna, aroma bunga, angin, dan suasana di sana. Mungkin karena saya besat di Jepang dengan 4 musim yang berbeda-beda. Hal itulah yang paling saya rindukan.

Nur Sakinah (Akiko Torii)

1. Ceritakan tentang diri Anda dan sudah berapa lama Anda tinggal di Singapura?

Saya belajar bahasa dan budaya Polandia di Universitas Tokyo, tinggal selama satu tahun di Polandia, dan akhirnya ke Australia untuk bertemu dengan profesor saya saat studi.

Di sana saya bertemu dengan calon suami saya saat itu, seorang pria berkebangsaan Singapura yang juga sedang belajar di sana. Setahun setelahnya, saya masuk Islam, 2 tahun kemudian saya menikah, dan 4 tahun kemudian tahun 2009 saya tinggal di Singapura untuk menempuh hidup baru. Jadi sudah sekitar 10 tahun saya di Singapura.

2. Sudah berapa lama Anda menjadi mualaf? Boleh ceritakan lebih banyak tentang perjalanan itu?

Saya masuk Islam tahun 2006 di masjid Otsuka Tokyo. Alhamdulillah sudah 13 tahun. Setelah saya bertemu dengan suami di Australia, saya kembali ke Jepang dan mulai belajar tentang Islam lewat buku dan dari teman-teman Muslimah. Salah satunya adalah seorang pelajar yang sedang studi di Suriah. Ia menjawab semua pertanyaan saya dengan sabar. Akhirnya saya semakin yakin dan memutuskan untuk memeluk agama Islam. Alhamdulilah!

3. Apa tantangan yang Anda hadapi saat pertama kali masuk Islam dan bagaimana cara mengatasinya? 

Meski saya dengan senang hati memeluk agama Islam, saya belum sepenuhnya mengamalkan nilai Islami dalam kehidupan sehari-hari, termasuk shalat, berpuasa, memakai jilbab, dan hanya makan makanan halal (saat itu saya masih tinggal di Jepang bersama keluarga).

Beef Sukiyaki halal yang dimasak oleh ibu Akiko di rumahnya di Tokyo

Saya sempat merasa sedih dan stres karena tidak bisa menjalankan perintah agama. Saya akhirnya sadar bahwa saya harus memulainya pelan-pelan dan banyak berdoa karena Allah Maha Kuasa akan segala sesuatu.

P.S. Semua mualaf menghadapi tantangan tersendiri, termasuk mualaf asal Swedia dengan ceritanya

4. Bagaimana Anda dan keluarga menghadapi situasi Covid-19?

Alhamdulillah, kami bersyukur bisa berkumpul di rumah saat pandemi. Suami saya pergi berbelanja beberapa kali sementara saya hanya keluar rumah untuk mengecek kandungan. Ibu saya berencana untuk datang melihat cucunya yang akan lahir bulan Agustus nanti, tapi kami belum tau apakah hal itu memungkinan atau tidak. saya hanya bisa berdoa semoga Allah memudahkan jalan kami. Saya melakukan video call setiap hari dengan orang tua di Tokyo. Meskipun kondisi di sana juga mengkhawatirkan, kami masih bersyukur bisa bertemu secara virtual berkat teknologi.

Di rumah, anak-anak sibuk belajar jarak jauh setiap hari. Suami saya juga sibuk menyiapkan bahan untuk mengajar. Untungnya, sistem dan tenaga pendidikan di Singapura bisa mendukung kegiatan belajar di rumah dengan baik dan lancar. Selesai belajar, anak-anak bermain di dalam rumah.

5. Bagaimana Ramadan di rumah tahun ini?

Ramadan tahun ini kami semua berada dirumah, jadi bisa shalat 5 waktu dan tarawih berjamaah. Kami juga berusaha untuk lebih banyak membaca Al Quran. Sekolah anak kami bahkan punya program membaca Al Quran via Zoom setiap hari. Inisiatif ini membuat anak saya semakin rajin membaca Al Quran selama Ramadan.

Menu sahur dan berbuka kami pun tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Biasanya kami makan sahur dengan menu makan malam sebelumnya. Saya membuatkan makanan yang ringan seperti roti lapis, sereal, dan telur untuk anak-anak. Untuk berbuka saya mencoba untuk tetap sederhana karena tahun sebelumnya kami punya banyak sisa makanan. Karena bubur masjid tahun ini tidak ada, saya membuatnya sendiri di rumah. Kami makan dengan berbagai menu saat berbuka, ada sate, sup miso, nasi, salad, dan buah (seperti di foto). Meskipun berbeda dari tahun sebelumnya, semoga Ramadan kali ini membawa pelajaran untuk kita semua, insya Allah.

6. Bagaimana Anda menjaga keseimbangan menjadi seorang Muslim di Singapura dengan mempertahankan budaya Jepang? Apa anak-anak Anda bangga menjadi orang Jepang Muslim?

Penting bagi saya untuk mempertahankan asal-usul saya sebagai orang Jepang untuk mempertahankan hubungan saya dengan keluarga. Saya biasa masak makanan Jepang (yang halal) dan bicara bahasa Jepang dengan anak-anak. Saya ingin anak saya tumbuh dengan budaya Jepang dan agama Islam secara keseluruhan.

Akiko bersama orang tuanya di Bandara Changi usai dikunjungi oleh orang tuanya

Ini juga sebagai upaya agar orang tua saya tetap dekat dengan cucunya meski terpisahkan oleh jarak. Anak-anak pun memiliki nama Jepang. Meski kadang sulit diucapkan, saya harap mereka bisa bangga menjadi orang Jepang Muslim.

Kami juga mengikuti perkumpulan orang Jepang Muslim di Singapura untuk berbagi pengalaman, informasi, dan saling membantu satu sama lain.

7. Dari mana asal Anda dan adakah tips bagi traveler yang akan mengunjungi kampung halaman Anda?

Saya dari Tokyo dan Alhamdulillah Tokyo sekarang semakin ramah Muslim. Ada semakin banyak toko dan restoran halal di sana. Jangan lupa untuk mampir ke masjid Tokyo Camii yang punya arsitektur bergaya Turki yang cantik!

8. Persepsi atau pertanyaan seperti apa yang dimiliki orang Jepang terhadap umat Muslim/Islam?

Sayangnya, tidak banyak orang Jepang yang mengerti tentang Islam, seperti saya dahulu. Banyak yg berpikir Islam tidak terjangkau dan penuh aturan yang ketat. Saya berharap semoga semakin banyak orang Jepang yang menemukan keindahan agama Islam.

9. Pernahkah Anda merayakan Ramadan di Jepang? Jika iya, apa bedanya dengan suasana Ramadan di Singapura?

Ramadan pertama saya jalani di Jepang. Di Jepang, suasananya tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Kalau kamu tidak ke mesjid atau bertemu dengan komunitas, suasana Ramadan terasa sepi. Sedangkan di Singapura, kita bisa merasakan umat Muslim merayakan Ramadan bersama-sama.

Kredit: @irfangunesertr di Instagram

Satu hal yang berkesan adalah saat saya pertama kali tarawih di Masjid Otsuka. Saya tidak tahu shalat tarawih seperti apa dan bingung karena shalatnya lama sekali. Suara imamnya bergetar saat membaca ayat dan menjadi momen yang sangat emosional untuk saya.

10. Apa Anda sering pulang ke Jepang? Apa yang paling Anda rindukan dari Jepang?

Kami pulang ke Jepang setiap liburan sekolah. Saya rindu dengan keluarga saya, musim yang berganti, dan buku-buku bahasa Jepang.

Salah satu momen saat Akiko dan keluarga pulang ke Jepang

Bagaimanapun, saya bersyukur dengan kehidupan saya di Singapura yang nyaman saat ini dan orang-orangnya pun ramah. ?

Masayo Hada

Catatan: Sayangnya, kami tidak berhasil mendapatkan kabar terbaru dari Masayo Hada tentang Ramadan di rumah tahun ini. Namun, kamu masih bisa membaca pengalamannya di bawah ini. 

1. Ceritakan tentang diri Anda dan sudah berapa lama Anda tinggal di Singapura?

Saya tinggal di Singapura sejak tahun 2001. Sebelumnya, saya sekolah dan bekerja di Amerika. Suami saya berasal dari Bangladesh dan kami punya 1 satu putra dan satu putri. Saya bekerja di bidang pelestarian lingkungan di Singapura.

2. Sudah berapa lama Anda menjadi mualaf? Boleh ceritakan pengalaman Anda?

Saya masuk Islam sebelum saya menikah di tahun 2001.

3. Apa tantangan yang Anda hadapi saat baru memeluk agama Islam dan bagaimana Anda mengatasinya?

Salah satu tantangannya adalah saya tidak menemukan sesama orang Jepang Muslim atau mualaf untuk waktu yang cukup lama. Saya tidak terlalu ingat, tapi sepertinya semua berawal saat saya mendengar ada acara buka puasa bersama di Masjid Sultan yang diadakan oleh komunitas orang Jepang Muslim. Di sanalah saya bertemu dengan muslimah Jepang di Singapura.

4. Bagaimana Anda menjalani hari-hari di bulan Ramadan?

Tidak ada yang berbeda. Saya bangun sebelum jam 5 pagi dan selesai makan sebelum jam 5.30. Saya ke kantor untuk bekerja jam 7.30 pagi.

5. Bagaimana Anda menjaga keseimbangan menjadi seorang Muslim di Singapura dengan mempertahankan budaya Jepang? Apa anak-anak Anda bangga menjadi orang Jepang Muslim?

Agak sulit untuk menjawabnya karena masing-masing orang memegang nilai yang berbeda. Saya bicara bahasa Jepang dengan anak-anak dan mereka belajar di sekolah Jepang (tahun lalu putra saya pindah dari sekolah internasional ke sekolah Jepang). Saya juga bekerja di perusahaan Jepang.

Tidak seperti muslimah Jepang lain di sini (yang menikah dengan pria Singapura), suami saya tidak punya saudara di sini. Jadi, anak-anak pun lebih mengenal budaya Jepang. Saya harap mereka bangga menjadi orang Jepang Muslim. Setiap akhir pekan mereka pergi ke kelas Madrasah, tapi tidak ada anak keturunan Jepang di sana.

6. Dari mana asal Anda dan adakah tips bagi traveler yang akan mengunjungi kampung halaman Anda?

Yokohama Red Brick Warehouse

Saya berasal dari Yokohama. Lokasinya di dekat Tokyo dan terkenal akan pelabuhan, Chinatown, dan banyak ekspatriat. ADa banyak toko dan cafe bagus yang bisa dikunjungi di Red Brick Warehouse.

7. Persepsi atau pertanyaan seperti apa yang dimiliki orang Jepang terhadap umat Muslim/Islam?

Berdasarkan pengalaman pribadi saya, beberapa orang berpikir saya masih boleh minum air saat berpuasa. Di Jepang, orang-orang mulai tahu bahwa berpuasa ringan baik untuk organ dalam. Jadi, beberapa ahli puasa kerap salah paham dengan puasa dalam Islam. Kesalahpahaman lainnya adalah kadang orang Jepang berpikir bahwa Idul Fitri adalah perayaan tahun baru Islam.

8. Apa Anda sering pulang ke Jepang? Apa yang paling Anda rindukan dari Jepang?

Makanan yang disiapkan untuk Festival Kodomo No Hi pada bulan Mei

Ya, 2 kali dalam setahun. Saya rindu akan musim yang berganti, termasuk makanan, adat, dan pakaian musiman.

Makanan yang disiapkan untuk Festival Hina Matsuri pada bulan Maret

Saya mencoba untuk merayakan festival tradisional Jepang di rumah bersama anak-anak, seperti taun baru (Januari), Setsu bun (Februari), Hina Matsuri (Maret), Kodomo no hi (Mei), Tanabata (Juli), Obon (Agustus), and Otsukimi (September/Oktober), dengan menyiapkan makanan spesial.

Senang sekali rasanya melihat komunitas Muslim di Singapura semakin kuat dan saling mendukung satu sama lain. Semoga kamu menyukai kisah mereka dan jangan lupa kabarkan kepada kami jika ada kisah Muslim dari belahan dunia lainnya yang ingin kamu baca. ?